Jakarta, Berita Oke.Online -
Pertanian padi merupakan sumber pendapatan utama bagi petani akar rumput dan merupakan tanaman pangan terpenting di Indonesia. Pertambahan penduduk yang pesat menjadikan Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia; sebagian besar masyarakatnya mengandalkan beras sebagai makanan pokoknya. Namun, sektor pertanian sangat bergantung pada kondisi iklim.
Perubahan variabilitas iklim yang ekstrem berpotensi menurunkan produktivitas pertanian padi dan berdampak pada perekonomian serta ketahanan pangan. Kondisi seperti ini perlu dikendalikan dengan menerapkan strategi adaptif untuk mengurangi kerugian masyarakat. Ada pendapat bahwa perubahan iklim akan merugikan pertanian padi dan juga masyarakat. Keadaan ini memerlukan perhatian dan penanganan yang serius dari pemerintah dan seluruh pihak terkait.
Menurunkan Produktivitas
Variabilitas curah hujan, suhu, dan kenaikan permukaan laut yang berubah-ubah telah menurunkan produktivitas padi secara signifikan. Berdasarkan data BPS, produksi padi pada 2023 diperkirakan mengalami penurunan sebesar 1,12 juta ton GKG dibandingkan dengan produksi padi pada 2022 yang sebesar 54,75 juta ton GKG.
Pertanian padi memiliki tingkat risiko yang berbeda-beda di seluruh negeri karena dampak yang timbul akibat perubahan iklim bergantung pada lokasinya. Persawahan yang terletak di dekat pantai akan terkena dampak kenaikan permukaan air laut. The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan laju kenaikan permukaan laut global tahunan akan berkisar antara 10-20 mm/tahun berdasarkan skenario RCP8.5.
RCP 8.5 mengacu pada konsentrasi karbon yang menyebabkan pemanasan global rata-rata 8,5 watt per meter persegi di seluruh dunia. Sehingga berdasarkan skenario ini dapat menghasilkan peningkatan suhu sekitar 4,3˚C pada 2100, dibandingkan dengan suhu pra-industri. Persawahan yang terletak di dataran rendah di sekitar wilayah pantai akan sangat rentan terhadap kenaikan permukaan air laut karena dapat menyebabkan genangan pantai dan peningkatan salinitas tanah.
Peningkatan garam akan membawa kerusakan pada lahan pertanian dalam jangka waktu yang lama, dan kandungan tanah menjadi tidak sesuai untuk varietas padi yang sudah ada. Dalam hal ini, petani perlu melakukan adaptasi bertahap dengan mengganti varietas padi yang toleran terhadap garam atau melakukan adaptasi transformasi dengan berpindah ke lokasi lain.
Variabilitas suhu dan curah hujan yang berubah juga mempengaruhi produksi hasil padi. Dampak langsung dari kenaikan suhu adalah evapotranspirasi yang menurunkan kadar air dan mengakibatkan berkurangnya areal persawahan yang mendapat cukup air. Kenaikan suhu juga meningkatkan respirasi padi sebagai bentuk pelepasan panas yang dapat menurunkan produktivitas. Penurunan produksi padi diperkirakan antara 10,5 - 19,94% di Jawa dan Bali serta 11,7% di pulau lain akibat peningkatan respirasi (Sriyanti, 2009).
Bahaya besar lainnya terkait dengan perubahan pola curah hujan. Terlebih lagi dalam kondisi pemanasan, fenomena iklim ekstrem seperti El Nino diperkirakan akan semakin sering terjadi dan ekstrem (Cai dkk, 2014), yang menyebabkan penurunan curah hujan dan membawa kekeringan parah di Indonesia. Kondisi ini menyebabkan musim kemarau menjadi lebih kering dan panjang sehingga permulaan musim hujan bisa saja tertunda (Syaukat, 2011).
Dalam kondisi normal, beberapa wilayah di Indonesia bisa panen padi dua kali dalam setahun, satu kali pada musim hujan, dan satu kali pada peralihan ke musim kemarau. Tertundanya musim hujan akibat periode kemarau yang lebih panjang berpotensi mengubah pola ini. Misalnya, akan terjadi perubahan dari dua kali panen padi per tahun (padi, padi, lainnya) menjadi hanya satu kali panen per tahun, yang akan berdampak negatif terhadap produksi beras dan harga beras.
Kenaikan harga beras dapat menurunkan taraf hidup masyarakat karena beras merupakan makanan pokok mereka, sedangkan penurunan produksi beras membuat petani menurunkan biaya produksi pada siklus penanaman berikutnya. Hal ini dapat mencakup pengurangan tenaga kerja, yang menyebabkan masyarakat kehilangan mata pencahariannya.
Menurunnya produktivitas padi juga berdampak pada ketahanan pangan. Ketahanan pangan akan dipengaruhi oleh perubahan produksi pertanian dalam hal pasokan pangan, mata pencaharian, dan aksesibilitas pangan. Perdagangan beras dari negara lain merupakan salah satu cara untuk menjamin ketahanan pangan Indonesia, namun distribusinya tidak merata di seluruh Indonesia karena terbatasnya akses transportasi.
Sulitnya akses pangan, terganggunya pasokan pangan, dan kegagalan hasil panen di daerah terpencil sering memunculkan masalah kelaparan yang berujung pada kekurangan gizi. Kegagalan panen yang membuat para petani kehilangan pendapatan dan sumber pangan serta ketidakmampuan membeli pangan menjadi faktor utama terjadinya permasalahan kelaparan di Indonesia.
Kurangnya nutrisi dan meningkatnya kelaparan dapat menyebabkan lebih banyak masalah kesehatan dan lebih banyak kematian. Masalah kerawanan pangan juga berkorelasi dengan kemiskinan. Jika para petani tersebut sangat bergantung pada produksi padi dan tidak memiliki kemampuan lain maka mereka akan terkena dampak terburuk dari perubahan iklim. Dampak ini akan lebih buruk lagi di masa depan karena semakin intensnya iklim ekstrem dan bertambahnya jumlah penduduk.
Membutuhkan Perhatian Lebih
Tingkat kerentanan berbeda-beda di setiap tempat, ditentukan oleh beberapa faktor. Faktor penentu yang pertama adalah persentase/kepadatan lahan sawah di suatu wilayah. Daerah dengan kepadatan persawahan yang tinggi akan lebih rentan dibandingkan daerah dengan kepadatan persawahan yang lebih sedikit apabila bahaya yang sama menimpa kedua wilayah tersebut.
Intinya, jika suatu bahaya terjadi pada suatu wilayah yang tidak ada lahan pertanian dan tidak ada penduduknya, berarti wilayah tersebut tidak rentan karena bahaya tersebut tidak berdampak pada apa pun. Sehingga sentralisasi sawah di suatu wilayah tertentu khususnya di Pulau Jawa dan Bali mencapai lebih dari 40% dari total luas sawah di Indonesia (Kementerian Pertanian, 2018) akan membuat pulau-pulau ini lebih rentan, terutama di daerah pedesaan dimana terdapat ladang pertanian.
Faktor kedua adalah jumlah petani skala kecil di negara ini. Perubahan pola produksi padi akan membawa dampak yang lebih besar bagi petani skala kecil karena mereka hanya mempunyai lahan pertanian yang terbatas dan penggunaan teknologi yang rendah. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan produktivitas padi karena keterbatasan anggaran. Jika mereka mengalami kegagalan panen selama siklus panen, berarti petani skala kecil kehilangan satu-satunya pendapatan mereka.
Lain halnya dengan pertanian skala besar milik industri yang mempunyai lahan pertanian luas yang tersebar di beberapa wilayah. Mereka mungkin mempunyai lahan pertanian yang ditanami jenis tumbuhan yang berbeda-beda di lokasi yang berbeda, sehingga berpotensi tetap mendapatkan keuntungan dari lahan lain jika terjadi kegagalan hasil di lahan pertanian padi. Sebagian besar lahan pertanian di Indonesia (58,7%) dimiliki oleh petani skala kecil dengan kepemilikan lahan kurang dari 0,5 ha (BPS, 2018). Petani kecil lebih rentan karena anggaran mereka yang rendah dan sangat bergantung pada sektor ini sebagai mata pencaharian utama mereka.
Sensitivitas pertanian padi berikutnya adalah rasio luas lahan tadah hujan. Dampak buruk penurunan curah hujan lebih parah pada lahan tadah hujan dibandingkan pada lahan irigasi karena ketersediaan air untuk pertanian tadah hujan hanya bergantung pada curah hujan. Lahan tadah hujan mempunyai ketidakpastian yang tinggi terhadap jumlah dan durasi curah hujan serta permulaan musim. Jika petani sawah tadah hujan bersikeras untuk menerapkan pola padi-padi-lainnya ketika kekeringan melanda, maka dampaknya bisa lebih buruk lagi karena potensi gagal panen sangat tinggi akibat kekurangan air pada siklus tanam kedua atau peralihan ke musim kemarau.
Indonesia memiliki lebih dari 41% lahan pertanian yang bergantung pada curah hujan untuk ketersediaan airnya (Kementerian Pertanian, 2018). Sebaliknya, pada lahan irigasi, lahan tersebut mempunyai tempat penyimpanan air yang lebih besar seperti bendungan dan tanggul yang dapat digunakan ketika terjadi kekeringan. Dapat dikatakan bahwa pertanian irigasi kurang sensitif terhadap kondisi kekeringan. Oleh karena itu, 41% pertanian tadah hujan akan lebih rentan terhadap perubahan curah hujan karena tidak ada sumber air lain selain hujan.
Rentannya pertanian padi terhadap perubahan iklim sangat membutuhkan perhatian lebih dari para pemangku kebijakan. Tidak hanya impor beras saja yang bisa menjadi solusinya, namun pemerintah dapat lebih memperhatikan kebutuhan dan kendala yang dihadapi oleh para petani. Memang benar bahwa impor beras dapat menanggulangi krisis beras yang kita hadapi, namun hal tersebut memiliki dampak negatif bagi kesejahteraan para petani.
Dampak negatif impor beras di antaranya adalah harga ditingkat petani akan turun, harga beras akan turun bahkan anjlok, dan lebih ekstremnya, para petani mogok menanam padi. Hal ini bisa terjadi jika biaya produksi menjadi jauh lebih tinggi daripada harga jualnya. Oleh sebab itu program-program adaptasi bagi para petani juga sangat diperlukan. Di sinilah peran pemerintah melalui kementerian dan dinas-dinas terkait sangat berperan penting untuk membantu petani dalam menghadapi perubahan iklim.
Sumber:DetikNews